1.
TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT
ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (TINGKAH LAKU)
Pandangan tentang belajar menurut
aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata
lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain;
Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull,
(1943); dan Skinner, (1968).
a.
Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah
seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (
yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut
Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat
diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut
sebagai “aliran koneksionis”
Menurut teori trial and error
(mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi
baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi
buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang
dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian
“dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan
untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses
belajar menurut Thorndike melalui proses:
1)
Trial
and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan)
2)
Law
of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu
keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan
dipelajari dengan sebaik-baknya.
b. Watson
Berbeda debgan Thorndike, menurut Watson pelopor yang
datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah
laku yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan
berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya
sebagai factor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental
yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi
factor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah
terjadi atau belum.
c.
Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner
memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis,
meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.
Dua hal yang sangat penting dalam
proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif)
dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon
berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan praktis teori belajar dari
Hull ini untuk
kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1) Teori belajar didasarkan pada
Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2) Intruksional obyektif harus
dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3) Ruangan kelas harus dimulai dari yang
sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4) Pelajaran harus dimulai dari yang
sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/ sulit.
5) Kecemasan harus ditimbulkan untuk
mendorong kemauan belajar.
6) Latihan harus didistribusikan dengan
hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak
boleh menggangu belajar.
7)
Urutan
mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu
tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar
pada mata pelajaran berikutnya.
d. Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa
“hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.
Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu
mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan
topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali
sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa
kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi
dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini
tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin
mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
e. Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah
laku, mungkn teori Skinner adalah teori
belajar yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar.
Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau
program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat
(reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner.
Prinsip belajar Skinner adalah :
1) Hasil belajar harus segera
diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama
dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3) Dalam proses pembelajaran lebih
dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan
perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4) Tingkah laku yang diinginkan pendidik
diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal
variable ratio reinforcer.
5) Dalam pembelajaran digunakan shapping.
2. TEORI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT ALIRAN KONSTRUKTIVISME
Pandangan tentang belajar
menurut aliran konstruktivisme merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan
akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada
mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang
menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran
konstruktivisme. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Jean Piaget, Jhon, Dewey
dan Von Graselfeld., Von Galserfeld (dalam
Paul, S., 1996), dan Paul Suparno SJ (Muchith,
2008:73).
a. Jean Piaget
Menurut piaget pada dasarnya setiap
individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi
pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek,
maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan
(Sanjaya, 2009:124).
Menurut Piaget, mengkonstruksi
pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan
sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi),
yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan
lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat
diasimilasikan oleh organisme.
Karena
asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan
intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam
struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan
intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur
kognitif. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi,
yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan
dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan
pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini
menyebabkan perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi).
b. Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey
dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes
(2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories
that share the general perspective that knowledge is constructed by learners
rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their
philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut
konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif
umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke
pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Kontruktivisme menyakini
bahwa belajar mencakup proses pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang
menghafalkan materi. Belajar meliputi restruktur atau menciptakan keterhubungan
dari sistem yang terintegrasi (misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan
suatu cara yang memiliki efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan
dipelajari dari hal tersebut; Bransford, Frank, Vye & Sherwood, 1989)
(Robbert B. Innes, 2004:38)
Prinsip dasar yang
mendasari pembelajaran konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld
(1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar
pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu
didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak
memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
c. Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Kontruktivisme menurut Von Glasefeld adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita
sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman,
2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan dan
3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan
yang satu daripada yang lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses
mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah
ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang
tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
definisi kontruktivisme beragam menurut
permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang
perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam
memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk
melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada
satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal,
yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi
dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan
dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural
posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada
social practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
d. Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul Suparno SJ (Muchith,
2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang dianggap tepat menurut teori
konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis dan dialogis.
Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk melakukan
kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, guru
tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara
konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa belajar jika dipandang
dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang berlangsung satu arah
dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara kepada
oemutakhiran struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang
terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring of
knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of
increasing conceptual consistency…”. pemberian makna terhadap objek dan
pengalaman oleh dindividu tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh
siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.