Senin, 15 April 2013

TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (TINGKAH LAKU) DAN KONSTRUKTIVISME

1.        TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (TINGKAH LAKU)
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968).
a.         Thorndike
          Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis”
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
1)        Trial and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan)
2)        Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baknya.
b.      Watson
     Berbeda debgan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai factor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi factor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
c.       Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1)      Teori belajar didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2)      Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3)      Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4)      Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/ sulit.
5)      Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6)      Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7)     Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.
d.      Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
e.       Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner  adalah teori belajar yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner.
Prinsip belajar Skinner adalah :
1)      Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2)      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3)      Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4)      Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5)      Dalam pembelajaran digunakan shapping.

2.       TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT ALIRAN KONSTRUKTIVISME
Pandangan tentang belajar menurut aliran konstruktivisme merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Jean Piaget, Jhon, Dewey dan Von Graselfeld., Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996), dan Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73).
a.     Jean Piaget
Menurut piaget pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009:124).
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme.
Karena asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting: pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi).
b.    Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Kontruktivisme menyakini bahwa belajar mencakup proses pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan materi. Belajar meliputi restruktur atau menciptakan keterhubungan dari sistem yang terintegrasi (misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang memiliki efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut; Bransford, Frank, Vye & Sherwood, 1989) (Robbert B. Innes, 2004:38)
Prinsip dasar yang mendasari pembelajaran konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
c.       Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Kontruktivisme menurut Von Glasefeld adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1)      kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
2)      kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan
3)      kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
d.      Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang dianggap tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk melakukan kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa belajar jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara kepada oemutakhiran struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh dindividu tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.